Kamis, 10 Januari 2013

Habibie & Ainun


Habibie-Ainun-header
Faozan Rizal, yang lebih dikenal atas arahan sinematografi-nya untuk film-film seperti Tendangan dari Langit (2011),The Perfect House (2011) dan Perahu Kertas (2012), melakukan debut penyutradaraannya lewat film berjudul Habibie & Ainun yang diangkat dari buku autobiografi berjudul sama karya mantan Presiden Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie. Terlepas dari kehidupan B.J. Habibie yang dilingkupi dengan banyak intrik politik, Habibie & Ainun justru lebih memfokuskan penceritaannya pada kehidupan pribadi sang mantan presiden, khususnya naik turunnya hubungan asmara yang ia jalin dengan almarhumah sang istri. Diperkuat dengan naskah cerita arahan Ginatri S. Noer dan Ifan Adriansyah Ismail, Faozan Rizal berhasil mengarahkan Habibie & Ainun menjadi sebuah kisah cinta yang tidak hanya terasa hangat, namun juga mampu menjalin hubungan emosional yang begitu kuat dengan para penontonnya.
Telah lama menuntut ilmu di Jerman semenjak kematian ayahnya di tahun 1955,  Bacharuddin Jusuf Habibie, atau yang akrab dengan nama panggilan Rudi (Reza Rahadian), kembali ke Indonesia pada tahun 1962 untuk meninggalkan sementara risetnya dalam meraih gelar dokter di bidang teknik akibat penyakit tuberkolosis yang ia derita. Saat kepulangannya itulah, Rudi bertemu kembali dengan Hasri Ainun Besari, atau yang lebih akrab disapa dengan Ainun (Bunga Citra Lestari), gadis yang juga seorang dokter dan dahulu pernah menjadi teman satu sekolah Rudi ketika masa sekolah menengah pertama. Sama-sama saling terpikat satu sama lain, tidak membutuhkan waktu lama bagi Rudi dan Ainun untuk kemudian melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Tak lama setelahnya, Rudi kemudian membawa Ainun untuk hidup bersamanya di Jerman.
Seiring dengan mahligai pernikahannya yang berlangsung bahagia, dimana Rudi kemudian dikaruniai dua orang putra, karirnya juga mampu melesat dengan cepat. Seusai mendapatkan gelar dokternya – dengan tesisnya yang berhubungan dengan teknik kedirgantaraan meraih banyak pujian, Rudi kemudian diundang oleh banyak perusahaan pembuat pesawat terbang untuk bekerja pada mereka. Sebuah kesempatan yang sangat bagus, namun kecintaan Rudi pada tanah airnya telah membuatnya bertekad untuk membangun sebuah pesawat terbang untuk negaranya. Kesempatan itu akhirnya datang pada tahun 1973 ketika Presiden Republik Indonesia saat itu, Soeharto, memintanya untuk kembali ke Indonesia dan mengaplikasikan kecerdasannya untuk membangun negara – yang juga menjadi awal keterlibatan Rudi dalam dunia politik Indonesia.
Harus diakui, tidak seperti kebanyakan drama romansa lainnya, jalan cerita Habibie & Ainun tidak banyak dipenuhi intrik maupun konflik asmara maupun kehidupan yang dramatis. Kisah cinta yang disajikan film ini cenderung terasa terlalu sederhana dan familiar. Beruntung, naskah cerita Habibie & Ainun mampu digarap dengan baik oleh Ginatri S. Noer dan Ifan Adriansyah Ismail. Ginatri dan Ifan mampu menyusun jalinan kisah asmara karakter Habibie dan Ainun dengan sangat hangat, mengisinya dengan komedi-komedi segar yang mampu membuat kedua karakter tersebut menjadi sangat mudah untuk disukai yang sekaligus berhasil secara perlahan mampu membangun jalinan emosional dengan para penonton. Konflik-konflik minimalis yang dihadirkan juga mampu ditata dengan baik – mulai dari konflik yang datang dari hubungan keduanya hingga dari unsur politik dalam kehidupan karakter Habibie yang mulai mempengaruhi pernikahan tersebut – untuk kemudian dihadirkan dalam penyampaian yang mengalir dengan sangat lancar.
Sebagai seorang sutradara, eksekusi yang dilakukan Faozan Rizal terhadap jalan cerita Habibie & Ainun mampu membuat film ini mengalir dengan ritme penceritaan yang tepat. Berjalan dengan tempo yang sederhana, Faozan memberikan cukup banyak ruang bagi penonton untuk mengenal dua karakter utama dalam film ini sekaligus menyajikan deretan konflik dalam kehidupan mereka yang akhirnya akan mampu menghanyutkan hati setiap penontonnya. Faozan juga mendapat dukungan tata sinematografi yang sangat baik dari Ipung Rachmat Syaiful yang berhasil menghadirkan deretan gambar yang begitu indah dan mampu mendukung emosi yang ingin disajikan dalam banyak adegan di film ini. Walau beberapa kali masih terasa terlalu hiperbolis dalam menyajikan kemegahan tata orkestrasinya, namun musik arahan Tya Subiakto Satrio juga mampu menjadi elemen pelengkap yang sangat baik bagi jalan cerita Habibie & Ainun. Tata teknis lainnya yang mampu tampil menonjol adalah arahan artistik yang mampu menghadirkan suasana negara Jerman dan Indonesia di masa lampau dengan sangat meyakinkan.
Berperan sebagai Habibie, Reza Rahadian sekali lagi berhasil membuktikan bahwa dirinya merupakan aktor terbaik yang dimiliki Indonesia untuk saat ini. Reza mampu menghidupkan karakter Habibie dengan tanpa cela – mulai dari gestur tubuh, pembawaan emosional hingga karakteristik puitisnya. Chemistry yang ia jalin bersama Bunga Citra Lestari – yang juga tampil dalam kapasitas yang jelas tidak akan mengecewakan – mampu tampil sangat meyakinkan. Hubungan Reza dan Bunga mampu membawa penontonnya ke berbagai tingkatan emosional yang hadir di sepanjang penceritaan film ini. Walau tampil dengan porsi cerita yang minimalis, kehadiran pemeran pendukung seperti Ratna Riantiarno, Mike Lucock, Vita Mariana Barazza, Teuku Rifnu Wikana hingga Hanung Bramantyo juga mampu memperkuat kualitas penampilan departemen akting Habibie & Ainun.
Dalam debut penyutradaraannya, Faozan Rizal mampu membuktikan bahwa ia tidak hanya sekedar mampu menangkap gambar-gambar yang indah untuk setiap filmnya. Habibie & Ainun juga membuktikan bahwa ia adalah seorang pencerita yang cukup baik. Didukung naskah cerita arahan Ginatri S. Noer dan Ifan Adriansyah Ismail, Faozan mampu merangkai kisah percintaan antara karakter Habibie dan Ainun dengan begitu memikat, terasa hangat dan emosional pada banyak bagiannya. Tidak dapat disangkal pula bahwa penampilan Reza Rahadian yang fantastis semakin memperkuat kualitas presentasi keseluruhan dari film ini. Adalah sangat jarang untuk menemukan film drama romansa dewasa Indonesia yang benar-benar dewasa, membumi dan berjalan alami seperti Habibie & AinunHabibie & Ainunmampu melesat menjadi film drama romansa Indonesia terbaik di sepanjang tahun ini. 
Habibie & Ainun (MD Pictures, 2012)
Habibie & Ainun (MD Pictures, 2012)
Habibie & Ainun (2012)
Directed by Faozan Rizal Produced by Dhamoo Punjabi, Manoj PunjabiWritten by Ginatri S. Noer, Ifan Adriansyah Ismail (screenplay), Bacharuddin Jusuf Habibie (book, Habibie & Ainun) Starring Reza Rahadian, Bunga Citra Lestari, Tio Pakusadewo, Ratna Riantiarno, Mike Lucock, Vita Mariana Barrazza, Bayu Oktora, Teuku Rifnu Wikana, Hanung Bramantyo, Henky Solaiman Music by Tya Subiakto SatrioCinematography Ipung Rachmat Syaiful Editing by Wawan I WibowoStudio MD Pictures Running time 125 minutes Country IndonesiaLanguage Indonesian, German

5 CM (Muhammad Reza Fibrian)


5-cm-header
Film 5 cm adalah sebuah film yang menandai kali pertama dalam karir penyutradaraan Rizal Mantovani (Pupus, 2011) dimana ia menggarap sebuah film yang naskah ceritanya diangkat dari sebuah novel. Pertama kali dirilis pada tahun 2007, novel 5 cm yang ditulis oleh Donny Dhirgantoro secara perlahan menjelma menjadi salah satu novel dengan penjualan paling laris di Indonesia. Dengan jalan cerita yang mengangkat mengenai tema persahabatan serta diselimuti dengan kisah petualangan, rasa nasionalisme serta dialog-dialog bernuansa puitis, novel tersebut berhasil menarik minat pembaca novel di seluruh Indonesia hingga berhasil  mengalami cetak ulang sebanyak 25 kali. Kesuksesan itulah yang kemudian menarik minat Sunil Soraya untuk mengadaptasi kisah 5 cm menjadi sebuah film layar lebar bersama dengan Rizal Mantovani.
5 cm sendiri berkisah mengenai persahabatan yang terjalin antara lima orang pemuda, Zafran (Herjunot Ali), Riani (Raline Shah), Genta (Fedi Nuril), Ian (Igor Saykoji) dan Arial (Denny Sumargo). Selalu menghabiskan banyak waktu mereka bersama membuat kelimanya telah begitu mampu untuk mengenai karakteristik satu sama lain. Kebersamaan tersebut kemudian mendapatkan tantangan ketika Genta mengusulkan selama tiga bulan ke depan, kelimanya tidak saling berhubungan dan berkomunikasi. Tantangan tersebut sendiri dimaksudkan agar masing-masing sahabat tersebut dapat menyelesaikan berbagai impian yang selama ini selalu tertunda akibat banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama. Kelimanya akhirnya setuju untuk menjalani ujian tersebut.
Tiga bulan berlalu, Genta akhirnya mengirimkan pesan agar keempat sahabatnya membawa sejumlah perlengkapan dan menemuinya di stasiun kereta api. Tak disangka, Genta mengajak sahabat-sahabatnya untuk menempuh sebuah perjalanan menuju kota Malang, Jawa Timur, untuk kemudian melanjutkan perjalanan tersebut dengan melakukan pendakian di Gunung Semeru dan menuju puncaknya, Mahameru, yang merupakan puncak tertinggi di Pulau Jawa. Ditemani oleh adik Arial, Dinda (Pevita Pearce),  perjalanan yang akan menguji kuatnya rasa persahabatan antara kelima karakter tersebut akhirnya dimulai.
5 cm memulai perjalanan ceritanya dengan cukup lancar. Proses pengenalan karakter yang disajikan di awal film mampu dihadirkan secara menghibur melalui deretan dialog bernuansa guyonan-guyonan persahabatan yang kental dan hangat. Walau porsi pengenalan karakter tersebut dihadirkan dalam durasi penceritaan yang sedikit terlalu lama, namun akting natural serta chemistry yang cukup erat yang hadir dari jajaran pemeran film ini membuat tempo penceritaan 5 cm tidak pernah terasa berjalan lamban. Kekuatan eksekusi pada bagian awal ini pula yang berhasil membuat deretan karakter dalam jalan cerita 5 cm menjadi begitu mudah untuk disukai.
Permasalahan mulai muncul ketika jalan cerita film mulai beranjak pada kisah mengenai petualangan keenam karakter dalam mendaki terjalnya Gunung Semeru. Ketika tata sinematografi arahan Yudi Datau selalu mampu menghadirkan deretan gambar yang berhasil mempesona penontonnya, tidak begitu halnya dengan pengembangan kisah yang dijalani karakter-karakter tersebut. Ketika 5 cm memulai perjalanannya sebagai sebuah film petualangan, tema penceritaan yang awalnya berkisah tentang persahabatan terasa berubah total menjadi kisah rasa nasionalisme masing-masing karakternya terhadap negara tempat mereka tinggal – lengkap dengan deretan dialog yang diutarakan dengan nada deklamasi yang, harus diakui, cukup menggelikan untuk didengarkan.
Tidak ada masalah dengan tema nasionalisme – ataupun dialog puitis yang dibacakan secara deklamasi ketika setiap karakter berada dalam situasi non formal di ruang terbuka. Yang terasa mengganggu adalah bagaimana sikap setiap karakter yang awalnya sama sekali tidak terlihat memiliki ‘bibit-bibit’ nasional seketika berubah penuh ketika mereka melakukan pendakian dan menyaksikan keindahan alam sekitarnya. Terasa tidak berjalan alami, semu dan… well… curang untuk lantas memasukkan tema penceritaan nasionalisme dengan sebuah latar belakang alasan yang tidak begitu kuat. Deretan konflik dan tantangan yang dialami setiap karakter dalam perjalanan mereka menuju puncak Mahameru juga gagal untuk dikembangkan dengan baik. Setiap permasalahan terkesan hanya dihadirkan untuk menambah intensitas ketegangan dalam jalan cerita untuk kemudian hilang begitu saja seperti sama sekali tidak pernah terjadi.
Bagian paling buruk dari deretan penceritaan 5 cm jelas berada pada akhir cerita film ini – yang kini kembali berpaling dari tema nasionalisme dan beralih menjadi tema romansa. Adalah sangat dimengerti bahwa bagian ini dihadirkan untuk memberikan penyelesaian atas pertanyaan-pertanyaan asmara yang hadir pada beberapa karakter semenjak jalan penceritaan dimulai. Namun, eksekusi cerita sendiri berlangsung dengan sangat cepat dan dilakukan dengan jalan yang murahan. Kehadiran bagian romansa ini juga seperti merusak tatanan cerita yang seharusnya telah mencapai klimaks ketika jalan cerita 5 cm lebih berfokus pada petualangan para karakternya.
Terlepas dari kurang mampunya Donny Dhirgantoro, Sunil Soraya dan Hilman Mutasi sebagai penulis naskah dalam mengembangkan tema nasionalisme dan romansa dalam jalan cerita 5 cm, harus diakui bahwa film ini masih tetap mampu berdiri tegak sebagai sebuah fim berkelas atas pengarahan Rizal Mantovani yang dinamis. Rizal mampu menghadirkan jalan cerita 5 cm dengan ritme penceritaan yang begitu mudah untuk diikuti. Kualitas film ini semakin terasa kuat berkat dukungan tata teknis yang apik, khususnya tata sinematografi yang benar-benar mengagumkan karya Yudi Datau, serta dukungan penampilan para jajaran pengisi departemen aktingnya. Bukan sebuah film yang sempurna namun jelas merupakan film yang akan mampu memikat banyak penontonnya.
5 cm (Soraya Intercine Film, 2012)
5 cm (PT. Soraya Intercine Film, 2012)
5 cm (2012)
Directed by Rizal Mantovani Produced by Sunil Soraya Written by Donny Dhirgantoro, Sunil Soraya, Hilman Mutasi (screenplay), Donny Dhirgantoro (novel, 5 cm) Starring Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Pevita Pearce, Igor Saykoji, Denny Sumargo, Kenes Andari, Didi Petet, Tommy AdhityaMusic by Nidji, The Future Conspiracy Cinematography Yudi DatauEditing by Sastha Sunu Studio PT. Soraya Intercine Film Running time130minutes Country Indonesia Language Indonesian

CINTA TAPI BEDA


Cinta Tapi Beda mengisahkan hubungan percintaan berliku antara dua karakter yang berasal dari latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda, Cahyo (Reza Nangin) dan Diana (Agni Pratistha). Cahyo, yang berasal dari keluarga Muslim yang taat di Yogjakarta, adalah seorang juru masak berbakat yang bekerja di salah satu restoran paling populer di Jakarta. Sementara itu, Diana, yang berasal dari keluarga dengan latar belakang kepercayaan Katolik di Padang, merupakan seorang mahasiswi jurusan tari yang saat ini sedang akan menghadapi ujian akhirnya. Keduanya secara tidak sengaja bertemu di sanggar tari yang dikelola oleh bibi Cahyo, Dyah Murtiwi (Nungky Kusumastuti). Pertemuan tersebut kemudian secara perlahan berlanjut menjadi hubungan percintaan yang akhirnya tidak dapat memisahkan keduanya.
Walaupun begitu, permasalahan mulai muncul ketika Cahyo memperkenalkan Diana pada keluarganya. Keluarga Cahyo yang masih hidup dengan latar belakang agama Islam yang sangat kuat jelas merasa kaget ketika Cahyo memperkenalkan seorang gadis yang berasal dari latar agama lain sebagai calon pendampingnya. Perdebatan kata-kata sengit antara Cahyo dan ayahnya, Fadholi (Suharyoso), jelas tidak terelakkan lagi. Keluarga Cahyo sendiri bukanlah satu-satunya pihak yang tidak menyukai hubungan tersebut. Ibu Diana (Jajang C Noer), yang merasa dirinya telah kehilangan beberapa anaknya akibat memilih untuk meninggalkan kepercayaan Katolik yang mereka anut, juga tak ingin Diana menjalin hubungan dengan Cahyo. Cahyo dan Diana jelas masih sangat mencintai satu sama lain. Namun dengan semakin tingginya tekanan yang diarahkan pada mereka, hubungan kasih keduanya sedang berada dalam masa kritis dan dapat saja berujung dengan perpisahan untuk selamanya.
Dengan film secara keseluruhan diarahkan oleh dua nama, Hestu Saputra (Pengejar Angin, 2011) dan Hanung Bramantyo (Perahu Kertas, 2012), serta naskah cerita yang ditulis oleh Taty Apriliyana, Novia Faizal dan Perdana Kartawiyudha, jelas adalah sangat mengherankan untuk melihat bahwa sama sekali tidak ada yang istimewa dalam jalan penceritaan Cinta Tapi Beda. Benar bahwa film ini mengulik sebuah tema yang semakin terasa menghangat di kalangan masyarakat Indonesia serta cukup berani dalam menghadirkan sebuah ending kisah yang memilih untuk ‘memenangkan cinta.’ Tapi selain dari itu, Cinta Tapi Beda terkesan hadir dengan formula plot cerita standar khas drama romansa Indonesia yang telah berulangkali dieskplorasi.
Cinta Tapi Beda sebenarnya memulai penceritaannya dengan cukup baik. Dua karakter utamanya mampu diperkenalkan dengan karakterisasi yang akan mampu membuat penonton mudah untuk menyukai keduanya – meskipun hadir dengan chemistry yang canggung di beberapa bagian cerita. Hubungan asmara yang terbentuk antara karakter Cahyo dan Diana juga berhasil dikemas secara manis. Pengisahan Cinta Tapi Beda mulai terasa terjal ketika satu persatu konflik cerita film ini mulai dihadirkan. Deretan konflik yang dihadirkan sebenarnya mampu disusupkan dengan baik ke tengah-tengah penceritaan. Namun, dalam perjalanannya, konflik-konflik tersebut gagal untuk mendapatkan pengembangan yang kuat dan akhirnya berjalan monoton dalam menceritakan permasalahannya.
Jalan penceritaan Cinta Tapi Beda yang standar khas drama romansa Indonesia juga diimbangi dengan kehadiran karakter-karakter yang standar pula. Sebenarnya tidak ada yang salah dari mengulang kembali formula penceritaan yang sama. Namun hasilnya akan terasa begitu datar jika formula familiar tersebut tidak diolah dengan beberapa polesan yang akan mampu membuatnya tetap terlihat segar dan menarik. Hal itulah yang terjadi pada film ini. Tanpa penggalian karakter yang mendalam, setiap karakter yang dihadirkan terlihat seperti hanya menjalani fungsinya masing-masing: dua karakter pecinta, beberapa karakter yang akan menghalangi cinta tersebut, beberapa karakter yang berasal dari sisi netral serta beberapa karakter yang dihadirkan untuk mendistraksi perhatian dua karakter pecinta. Standar dan tidak menarik.
Dari departemen akting, Cinta Tapi Beda untungnya mendapatkan dukungan yang kuat dari penampilan para jajaran pemerannya. Walau film ini merupakan debut aktingnya, namun Reza Nangin mampu memberikan sebuah penampilan yang begitu meyakinkan – tidak pernah terlihat berlebihan namun jauh dari kesan lemah. Meskipun penampilan Agni Pratistha sebagai seorang penari masih kurang meyakinkan, namun dari segi dramatis, Agni mampu menampilkan akting terbaiknya. Chemistry yang ia hasilkan bersama Reza juga cukup meyakinkan meskipun terlihat goyah di beberapa bagian. Pemeran pendukung lainnya juga tampil memuaskan meskipun dengan porsi cerita yang sangat terbatas dan kurang berkembang.
Mungkin yang menyebabkan Cinta Tapi Beda gagal untuk tampil mengesankan adalah keputusan untuk mengeksplorasi sebuah tema cerita yang sangat sensitif dengan pendekatan cerita yang benar-benar (terlalu) aman dan klise. Hasilnya, daripada mampu mendapatkan sebuah penceritaan yang baru, Cinta Tapi Beda justru terlihat hanyalah sebagai sebuah variasi drama romansa Indonesia dengan pola penceritaan yang begitu-begitu saja. Standar – yang akan membuat banyak orang heran mengapa dibutuhkan dua sutradara untuk mengarahkan jalan cerita klise seperti film ini. Bukanlah sebuah film yang buruk, namun jelas seharusnya mampu mendapatkan presentasi cerita yang jauh lebih tajam lagi. 
Cinta Tapi Beda (Multivision Plus Pictures, 2012)
Cinta Tapi Beda (2012)
Cinta Tapi Beda (Multivision Plus Pictures, 2012)
Directed by Hestu Saputra, Hanung Bramantyo Produced by Raam Punjabi Written by Taty Apriliyana, Novia Faizal, Perdana KartawiyudhaStarring Agni Pratistha, Reza Nangin, Choky Sitohang, Ratu Felisha, Agus Kuncoro, Jajang C Noer, Nungky Kusumastuti, Hudson Prananjaya, Leroy Osmani, Ayu Dyah Pasha, Aris Gepeng, Rara Nawangsih, Suharyoso, Sitoresmi Prabuningrat, August Melasz Music by Erros ChandraCinematography Batara Goempar Siagian Editing by Wawan I WibowoStudio Multivision Plus Pictures Running time 96 minutes CountryIndonesia Language Indonesian

Sabtu, 05 Januari 2013

5 Hal Pertama Yang Harus Dilakukan Di Tahun 2013

1. Bersyukur PadaNya
Bagaimanapun juga kita tidak akan sampai di Tahun baru sekarang jika tidak diberi Nikmat dan Anugrah oleh Nya, maka kita harus bersyukur, diberi tambahan Umur dan Rezeki dalam menjalani 2012, dan diberu kesempatan untuk memperbaiki di 2013.

2. Meminta Restu Orang Tua
Restu orang adalah RestuNYA, maka sebaiknya kita meminta doa restu dari Orang Tua untuk segala hal yang akan kita lakukan di tahun 2013

3. Instrokpeksi Tahun 2012
Di Awal tahun 2012 hingga akhir kita pasti banyak melakukan kesalahan dalam perjalanan Karir, Cinta, Sekolah, Bisnis, dan lainnya, maka kita perlu berinstrokpeksi, Hal hal apa yang tidak perlu Di Lakukan, dan apa yang perlu dilakukan, dilanjutkan dilakukan di tahun 2013 ini

4. Menyiapkan Langkah di 2013
Kita harus membuat rencana kedepan, misalkan 1 bulan kedepan, 3 bulan kedepan, 6 bulan kedepan, dan akhir tahun 2013 ini,
Target jangka Pendek, Target Jangka Panjang. agar "Beban target" kita bisa dicapai dengan lebih mudah.

5. Memulai Aktifitas !
Sebaik baiknya rencana yang kita lakukan adalah Dengan MELAKUKANNYA! mari kita Mulai segalanya dengan mengawalinya, jangan malah tidur seharian.
Karena Sesungguhnya Apa yang kita tanam maka akan kita Tuai alias Memanennya. Kita akan pantas mendapatkan yang kita Inginkan jika kita Berjuang dan Bekerja keras Menggapainya!

Bahasa Terjemahan